Makalah Ketika Guru Menjadi Aktor Dan Emansipator
Ketika Guru Menjadi Aktor Dan Emansipator
OLEH
Ahmad Ridwan Kadir
(20403110008)
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Asslamu alaikum wr. wb.
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah tersebut.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Peranan Guru, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Peranan Guru saat menjadi Aktor atau Emansipator” yang akan menjadi acuan untuk menjadi guru profesional. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah EPK yang telah memberikan tugas tersebut.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Akhirul kalam, Wabillahi taufiq warrahma, wassalamu alaikum wr. wb.
Makassar, 04 April 2012
Hormat kami,
Penulis
NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!
|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
Pendidikan adalah suatu bentuk investasi jangka panjang yang penting bagi
seorang manusia. Pendidikan yang berhasil akan menciptakan manusia yang pantas
dan berkelayakan di masyarakat seta tidak menyusahkan orang lain. Masyarakat
dari yang paling terbelakang sampai yang paling maju mengakui bahwa
pendidik/guru merupakan satu diantara sekian banyak unsur pembentuk utama calon
anggota masyarakat. Namun, wujud pengakuan itu berbeda-beda antara satu
masyarakat dan masyarakat yang lain. Sebagian mengakui pentingnya peranan guru
itu dengan cara yang lebih konkrit, sementara yang lain masih menyangsikan
besarnya tanggung jawab seorang guru, termasuk masyarakat yang sering menggaji
guru lebih rendah daripada yang sepantasnya.
Demikian pula, sebagian orang tua
kadang-kadang merasa cemas ketika menyaksikan anak-anak mereka berangkat ke
sekolah, karena masih ragu akan kemampuan guru mereka. Di pihak lain setelah
beberapa bulan pertama mengajar, guru-guru pada umumnya sudah menyadari betapa
besar pengaruh terpendam yang mereka miliki terhadap pembinaan kepribadian
peserta didik.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
peran guru sebagai Aktor?
2.
Bagaimana
peran guru sebagai Emansipator?
C. Tujuan
Tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui peranan guru sebagai Aktor.
2.
Untuk
mengetahui peranan guru sebagai Emansipator.
NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Guru Sebagai Penulis Naskah, Sutradara dan Sekaligus
Aktor
Menjadi guru memang tidaklah
gampang, karena guru dalam membelajarkan siswa sangat dituntut
profesionalismenya dalam membuka sekaligus mengembangkan potensi serta motivasi
belajar siswa. Ibarat sebuah sinetron maka guru dalam pementasan sebuah adegan
dalam setiap episode pembelajaran berperan sebagai penulis naskah ( skenario ),
sutradara dan sekaligus pemain bersama dengan siswa.[1]
1. Guru
Sebagai Penulis Naskah
Dalam
perannya sebagai penulis naskah sebelum pelaksanaan pembelajaran guru harus
mempersiapkan materi (bahan ajar) pembelajaran yang akan mendukung dalam
pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan ajar tersebut harus memuat ketercapaian kompetensi Dasar
yang dituangkan dalam bentuk indikator-indikator pencapaian kompetensi dan
tujuan pembelajaran. Disamping itu bahan ajar dalam pengembangannya harus
menganut prinsip sebagai berikut :
a.
Mulai dari yang mudah untuk memahami yang
sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak;
b.
Pengulangan untuk memperkuat pemahaman;
c.
Umpan balik positif untuk memberikan
penguatan terhadap pemahaman peserta didik;
d.
Motivasi belajar yang tinggi sebagai salah
satu faktor penentu keberhasilan belajar;
e.
Untuk mencapai tujuan ibarat naik tangga,
setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai ketinggian tertentu;
f.
Mengetahui hasil yang telah dicapai akan
mendorong peserta didik untuk terus mencapai tujuan.
2.
Guru Sebagai Sutradara
Dalam perannya sebagai sutradara,
guru lebih awal harus memperoleh informasi sekaligus mengumpulkan data tentang
kondisi awal siswa yang akan diajar kemudian mempersiapkan segala bahan dan
peralatan yang kan dipakai setelah action dikelas. Hal ini dimaksudkan supaya
dalam menyusun rancangan pembelajaran (skenario) yang sekarang lebih dikenal
dengan nama Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ) guru dapat memilih
materi, metode, strategi dan penilaian pembelajaran yang tepat. Dalam RPP yang
dibuat guru sedapat mungkin dapat komunikatif artinya dapat menuntun jalannya
adegan-adegan di dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari kegiatan persiapan ,
kegiatan inti sampai pada kegiatan penutup. Bila perlu dan demi lancarnya
kegiatan pembelajaran guru masih diharapkan dapat memberi penjelasan-penjelasan
yang terkait lakon yang harus dilakukan siswa sehingga kegiatan pembelajaran
dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien.
Khususnya dengan metode dan strategi pembelajaran pada dasarnya tidak ada satupun metode atau strategi yang paling bagus, kecuali jika digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Salah menggunakan metode atau strategi maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran yang akan dicapai tidak akan maksimal.[2]
Khususnya dengan metode dan strategi pembelajaran pada dasarnya tidak ada satupun metode atau strategi yang paling bagus, kecuali jika digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Salah menggunakan metode atau strategi maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran yang akan dicapai tidak akan maksimal.[2]
3.
Guru Sebagai Aktor
Dalam perannya sebagai aktor (
pemain ), setelah naskah ( materi ) ada, skenario lengkap, sutradara sudah
bekerja dengan baik maka selanjutnya guru masih harus berperan sebagai pemain
langsung dalam setiap episode pembelajaran. Walaupun dalam filosofi
pembelajaran yang dikembangkan sekarang peran dan fungsi guru bukan lagi
sebagai pengajar melainkan lebih kepada sebagai fasilitator. Dalam perannya
sebagai fasilitator tidak berarti bahwa guru sudah terlepas dari tugas sebagai
pengajar, akan tetapi bentuk mengajarnya guru lebih besifat kepada bentuk
pembimbingan dan bahkan sekali-kali menjadi model dalam setiap episode
pembelajaran. Guru senantiasa harus mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan baik dilakukan dalam bentuk layanan individu
maupun dalam bentuk layanan kelompok.
Berikut ini hal-hal yang perlu
dilakukan guru dalam setiap episode pembelajaran:
a.
Menyiapkan peserta didik secara psikis dan
fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.
Artinya guru
harus berusaha melibatkan emosional siswa pada materi yang akan dipelajari
misalkan dengan menghubungkan materi dengan kondisi keseharian siswa serta
meenyampaikan manfaat atau kegunaan materi tersebut dipelajari;
b.
Menjelaskan tujuan pembelajaran.
Ini dimaksudkan agar supaya siswa
punya batasan atau sasaran dalam mengeksplorasi serta mengelaborasi
pengetahuannya;
c.
Menciptakan kegiatan pembelajaran yang
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik.Kegiatan pembelajaran menggunakan metode yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela jaran yang
meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi;
d.
Melakukan pembimbingan baik secara individu
maupun secara kelompok;
e.
Melakukan penilaian dan/atau refleksi
terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
f.
Memberikan umpan balik terhadap proses dan
hasil pembelajaran;
g.
Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam
bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau
memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil
belajar peserta didik;
h.
Menyampaikan rencana pembelajaran pada
pertemuan berikutnya;
Tak
terbantahkan lagi, guru menjadi figur sentral dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
Begitu pintu kelas ditutup, puluhan pasang akan mengalihkan perhatiannya kepada
sosok yang berdiri di depan kelas. Mulai ujung rambut hingga ujung kaki akan
“ditelanjangi” oleh peserta didik. Tak berlebihan kalau ada yang bilang, figur
seorang guru akan menjadi “rujukan” para siswa dalam bersikap dan bertingkah
laku. Itu juga yang makna yang melekat pada akronim “Digugu dan Ditiru”
(dipercaya dan diteladani).[3]
Mengingat
demikian pentingnya peran seorang guru di depan kelas, tak perlu heran juga
kalau ada yang mengibaratkan guru bagaikan aktor. Hidup-matinya sebuah kelas
akan sangat ditentukan peran seorang guru dalam mendesain dan mengelola kelas.
Ia (baca: guru) juga diibaratkan seperti konduktor yang akan mengatur irama dan
orkestra kelas. Semakin kreatif seorang guru dalam mendesain situasi kelas,
semakin hidup pula permainan orkestrasi kelas yang dikendalikannya.
Nah,
seiring dengan dinamika pembelajaran yang terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan peradaban, guru memang bukan menjadi satu-satunya sumber
belajar. Di tengah kemajuan teknologi pada abad gelombang informasi seperti
saat ini, anak-anak bisa memperoleh asupan ilmu dari berbagai sarana dan media.
Kini, anak-anak dengan mudah mengakses berbagai informasi mutakhir yang terkait
dengan dunia keilmuan di jagad maya. Hanya dengan berhadapan dengan layar
monitor yang terhubung secara online dengan jaringan internet, peserta didik
dapat menjelajahi lautan informasi keilmuan (nyaris) tanpa batas.
Dalam
konteks demikian, guru pun diharapkan juga tak ketinggalan informasi dengan
murid-muridnya. Sungguh celaka apabila guru yang menjadi salah satu sumber
belajar bagi siswa didik, penguasaan informasinya justru “disalip” oleh
murid-muridnya. Ini artinya, dalam situasi dan kondisi apa pun, guru jelas
masih sangat membutuhkan kewibawaan masih melekat ke dalam “darah”
ke-resi-annya. Salah satu cara yang paling tepat untuk menegakkan wibawa guru
adalah penguasaan substansi materi keilmuan sesuai dengan bidang yang menjadi
tanggung jawabnya.
Sebagai seorang aktor, guru haru
melakukan apa yang ada di dalam naskah yang telah disusun dengan
mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton. Penampilan yang
bagus dari seorang aktor akan mengkibatkan para penonton tertawa, mengikuti
dengan sungguh-sungguh, dan bisa pula menangis terbawa oleh penanmpilan sang
aktor. Untuk bisa berperan sesuai dengan tuntutan naskah, dia harus
menganalisis dan melihat kemampuannya sendiri, persiapannya, memperbaiki
kelemahan, menyempurnakan aspek-aspek baru dari setiap penampilan,
mempergunakan pakaian, tata rias sebagaimana diminta, dan kondisinya
sendiriuntuk menghadapi ketegangan emosinya dari malam ke malam serta mekanisme
fisik yang baru ditampilkan.[4]
Sang aktor harus siap mental
terhadap pernyataan senang dan tidak senang dari para penonton dan kritik yang
diberikan oleh media massa. Emosi harus dikuasai karena kalau seseorang telah mencintai atau membenci sesuatu akan
berlaku tidak objektif, perilakunya menjadi distorsi dan tak terkontrol.
Ringkasnya, untuk menjadi aktor yang mampu membuat para penonton bisa menikmati
penampilannya serta memahami pesan yang ingin disampaikan, diperlukan
persiapan, baik pikiran, perasaan maupun latihan fisik.
Setiap individu memiliki banyak
peran untuk dimainkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kebanyakan menolak
anggapan bahwa gagasan dan pengalaman, serta harus menyadari bahwa orang
lainpun berkesempatan untuk memilikinya. Untuk dapat mentransfer gagasan, ia
harus mengembangkan pengetahuan yang telah dikumpulkan serta mengembangkan
kemapuan mengkomunikasikan pengetahuan itu. Kemempuan berkomunikasi merupakan
suatu seni atau keterampilan yang dikenal dengan mengajar.
Sebagai seorang aktor, guru
melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan
juga juga tentang keperibadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon
pendengarannya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.
Untuk melakukan hal ini ia mempelajari semua hal yang berhubungan dengan tugasnya, sehingga dapat
bekerja secara efektif.
Sebagai aktor, guru berangkat
dengan jiwa pengabdiandan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkkan
kegiatannya. Tahun demi tahun sang aktor berusaha mengurangi respon bosan dan
berusaha meningkatkan minat para pendengar. Demikianlah, guru memiliki
kemampuan menunjukkan keterampilannya di depan kelas.
Guru harus menguasai materi
standard dalam bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, memperbaiki
keterampilan, dan mengembangkanuntuk mentransfer bidang studi itu. Ia mempelajari
peserta didik, alat-alat yang dapat dipergunakan untuk menarik minat, dan tentu
saja mempelajari bagaimana menggunakan alat-alat secara efektif dan efesien.[5]
Bidang studi yang harus diajarkan
telah diseleksi sebagai bagian dari kurikulum. Guru harus mempelajarinya dengan
seksama, termasuk urutan penyajiannya. Berbagai usaha untuk meningkatkan minat
dan mempermudah pencapaian tujuan haruslah dilaksanakan, misalnya alat peraga,
warna dinding dan pengaturan cahaya atau fenilasi kelas.
Untuk menghibur orang-orang yang
merasa bahwa guru bukanlah seorang aktor atau harus tidak bertindak sebagai
aktor, sebaiknya dilihat proses bagaimana dia menjadi seorang aktor yang nyata.
Ia memilih mengajar sebagai karier, mengabdi melalui bidang studi tertentu,
yang memerlukan waktu, uang, tenaga dan harus menguasai bidangnya, serta
belajar mengajarkannya kepada orang lain.
Guru harus mampu
tampil prima di depan kelas menyampaikan materi pelajaran dengan memikat
sehingga siswa antusias dan bersemangat. Problemnya, seringkali guru ‘kurang
cara’ untuk tampil memikat jadinya situasi belajar-mengajar (KBM) membosankan.
Tersirat dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa guru yang
profesional harus mempu menciptakan situasi belajar-mengajar (KBM) yang
kondusif. Tujuannya agar siswa bersemangat dan terinspirasi untuk terus
belajar. Guru pun harus selalu mengeksplorasi metode serta setrategi
pembelajaran agar siswa antusias menyimak materi pelajaran. Begitulah, tugas
guru ternyata tidak sekedar menyampaikan materi yang diamanatkan kurikulum.[6]
Menafsirkan makna
‘tampil prima’ dan ‘menarik di depan siswa’ saya sedikit memiliki pemikiran
nyleneh tentang penampilan guru. Saya membayangkan guru adalah seorang aktor
yang ‘bermain’ di depan kelas dengan ‘naskah’ materi pelajaran serta siswa
adalah ‘penonton’ yang aktif. Dalam konsep teater modern, penonton yang aktif
adalah penonton yang terlibat dalam permainan (baca; ikut bermain). Guru adalah
aktor!
“Persoalan yang sempat
saya simpulkan dari pertemuan dengan guru dari berbagai sekolah di Jombang,
Mojokerto, serta sejumlah wilayah lain menunjukkan jika sikap kurang percaya
diri menjadi masalah utama. Justru bukan kepada penguasaan materi ajar, tetapi
lebih pada aspek psikologi individual. Ini berarti alternatif solusinya adalah
dengan ‘mengasosiasikan’ diri sebagai aktor di ‘panggung’ kelas”. Cucuk Suparno.[7]
Seorang aktor mampu
mengatasi rasa kurang percaya diri dengan berbagai latihan dan tindak
pengkondisian psikis. Nah! Guru tidak ada salahnya melakukan tindak pengkondisian
psikis. Menjadi aktor tunggal di depan kelas harus mampu ‘berakting’ yang total
agar ‘pertunjukkan’ menarik. Implikasinya, guru harus selalu mengeksplorasi
materi ajar yang di-create menjadi mentode pengajaran yang memikat.
Ambil contoh, materi
sastra yang –oleh banyak guru—dikeluhkan sebagai materi paling sulit diajarkan.
Karena siswa menganggap sastra itu berbelit, membosankan, dan diharuskan
menghafal banyak tokoh serta karya sastra. Jangan salah! Sastra justru menjadi
pelajaran yang menarik apabila kita memiliki setrategi mengajar yang jitu.
Siswa tidak tertarik, dipastikan kelas menjadi ramai dan sulit dikendalikan.
Coba saja, misalnya
guru masuk kelas membawa boneka. Dengan gaya tertentu ajak boneka seolah itu
adalah ‘seseorang’ yang sedih karena selalu tidak di dengar. Nah! Akting pun
dimulai. Eksplorasi boneka sehingga siswa pun merasa empati terhadap tokoh
rekaan tersebut. Ketika siswa empati, kelas pun jadi mudah dikendalikan.
Selanjutnya, gunakan boneka itu sebagai media pembelajaran. Sedikit akting akan
menggiring siswa tanpa disadari oleh siswa itu sendiri.
Sampai di sini, saya
berkesimpulan masalah utama justru ada dalam diri guru itu sendiri. Rasa kurang
percaya diri muncul karena ‘malu’ untuk mengeksplorasi metode yang kurang
lazim. Kenapa saya sebut kurang lazim? Sebab siswa akan jenuh –cepat bosan—jika
menghadapi guru yang normatif dan tidak memiliki ‘kejutan-kejutan’ baru dalam
menyampaikan materi pelajaran.
Dalam ilmu keaktoran,
kejutan-kejutan ini ibarat suspen in act. Diperlukan keliaran imajinasi untuk
memunculkan kejutan baru itu. Guru pun harus memiliki keliaran metode sehingga
–apapun pelajarannya—tetap menarik. Patut diingat bahwa tidak ada eksplorasi
yang salah selalu berdasar rencana pengajaran. Jadi kenapa mesti malu berekspresi?
Karena guru adalah aktor!.[8]
B.
Guru sebagai Emanipator
Emansipasi
(Emansipator) adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan
kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru
seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan,
penggugah semangat peserta didik dan penerang dalam kegelapan
generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati
setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia merupakan
budak stagnasi kebudayaan.[9]
Dengan kecerdikannya, guru mampu
memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, dan menyadari bahwa
kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Ketika masyarakat
membicarakan rasa tidak senang kepada peserta didik tertentu, guru harus
mengenal kebutuhan peserta didik tersebut akan pengalaman, pengakuan, dan
dorongan. Dia tahu bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali
membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak
menyenangkan , kebodohan, dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Dalam hal
ini, guru harus mempu melihat sesuatu yang tersirat di samping yang tersurat,
serta mencari kemungkinan pengembangannya.[10]
Untuk memiliki kemampuan yang
tersirat, perlu memanfaatkan pengalaman selama bekerja, kesabaran dan tentu
saja kemampuan menganalisis fakta yang dilihatnya, sehingga guru mampu mengubah
kemampuan peserta didik dari status “terbuang” menjadi “dipertimbangkan” oleh
masyarakat. Guru telah melaksanakan fungsinya sebagai emansipator, ketika peserta
didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tak berharga, merasa
dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan sebagai kesulitan sehingga
hampir putus asa, dibandingkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
Ketika peserta didik hampir putus asa, diperlukan ketelatenan, keuletan dan
seni termotivasi agar timbul kembali kesadaran, dan bangkit lagi harapannya.
Guru sadar bahwa informasi
tertentu telah dimiliki peserta didik sebelum mereka masuk kelas, ia juga sudah
sadar bahwa apa yang diketahui orang bisa jadi fakta yang belum diorganisir
menjadi hubungan yang bermakna. Salah satu tanda bahwa peserta didik telah
memahami hubungan yang bermakna adalah mampu menjelaskan apa yang diketahuinya.
Karena itu, guru harus membina kemampuan peserta didik untuk menginformasikan
apa yang ada dalam pikirannya. Jika kemampuan tersebut telah dimiliki, maka
perasaan rendah diri tadi berangsur-angsur hilang, dan bebaslah peserta didik
dari keadaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, guru telah melakukan
emansipasi.
Guru sering melihat potensi
ketika air kreativitas telah nampak mengalir, ia melihat sekelompok peserta
didik yang terisolasi dari aliran air yang lain, dan mengisi sumur itu dengan
ide-ide, pengetahuan, dan harapan. Hal ini akan membantu peserta didik meraih
hubungan dengan budaya yang disekitarnya dan hidup lebih berisi, lebih kaya,
walaupun seringkali mendapatkan hambatan, itulah kehidupan.[11]
Bagaikan seorang penasehat, guru
melihat potensi yang terdapat pada benda (bahan) yang dikerjakannya. Dia
menerima itu sebagaimana adanya, dan dengan penuh kesungguhan bahan itu
“dijadikan”. Demikianlah guru menerima peserta didik yang datang dengan
berbagai latar belakang budaya di sekelilingnya.
Karena benda yang digarap bukan
benda mati sebagaimana yang digarap oleh pemahat, maka guru berkewajiban
mengembangkan potensi peserta didik sedemikian rupa sehingga menjadi pribadi
yang kreatif. Untuk itu dia memberikan kesempatan kepada peserta didik
mengajukan pertanyaan, memberikan balikan, memberikan kritik dan sebagainya,
sehingga mereka merasa memperoleh kebebasan yang wajar.
Dalam komunitas makhluk hidup pada umumnya dan
komunitas siswa khususnya pasti ada kelompok pandai, sedang dan kurang
pandai, kelompok aktif, sedang dan kurang aktif, kelompok rajin,sedang dan
kurang rajin, dan lain-lain yang ujungnya secara psikologis mereka itu membuat
kelompok-kelompok yang anggotanya dianggap setara.
Kelompok yang terakhir yakni kelompok kurang
mampu, kurang pandai,kurang rajin, kurang aktif, kurang cerdas sering mengalami
minder, kurang percaya diri, tidak termotivasi untuk mengembangkan diri dan
paling parah timbulnya perasaan putus asa.
Menghadapi
kelompok yang demikian ini , guru hendaknya segera bertindak sesuai perannya
sebagai emansipator. Mengembalikan kelompok ini menjadi bangkit,
termotivasi, percaya diri dan tidak putus asa adalah peran guru sebagai
emansipator.[12]
NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Dalam ilmu keaktoran, kejutan-kejutan ini
ibarat suspen in act. Diperlukan keliaran imajinasi untuk memunculkan kejutan
baru itu. Guru pun harus memiliki keliaran metode sehingga –apapun
pelajarannya—tetap menarik. Patut diingat bahwa tidak ada eksplorasi yang salah
selalu berdasar rencana pengajaran. Jadi kenapa mesti malu berekspresi? Karena
guru adalah aktor.
Emansipasi
(Emansipator) adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan
kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru
seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan,
penggugah semangat peserta didik dan penerang dalam kegelapan
generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati
setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia merupakan
budak stagnasi kebudayaan.
B. Saran
Sebaiknya
pembaca dapat mengumpulkan informasi dari sumber lain atau referensi lainnya
mengenai materi yang dibahas dalam makalah ini guna menambah wawasan mengenai
peran guru dalam proses pembelajaran terkhusus guru sebagai pembaharu, model
dan teladan, serta guru sebagai pribadi.
DAFTAR
REFERENSI
MPR RI.
2011. UUD RI 1945 dan Ketetapan MPR RI. Jakarta: Sekjen MPR RI.
Muhadi,
Umar. 2010. http://umarmuhadi.blogspot.com/2010/10/guru-sebagai-penulis-naskah-sutradara.html.
Mulyasa.
2005. Menjadi Guru Profesonal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Mulyasa.
2008. Menjadi Guru Profesonal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset .
[1] Muhadi, (http://umarmuhadi.blogspot.com/2010/10/guru-sebagai-penulis-naskah-sutradara.html di unggah pada 3 April 2012)
[3] Sawali. (http://pawiyatan.com/2010/12/09/guru-sebagai-aktor-di-depan-kelas/ diunggah pada 02 April 2012)
[4] Mulyasa, Menjadi Guru
Profesonal, (Cet. VII Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2008), hal. 59
[7] Cucuk, (http://suaraguru.wordpress.com/2010/12/07/guru-adalah-aktor/, diunggah pada 02 April 2012)
[12] Marijan, (http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2010/12/23/lima-e-sikap-guru-berkualitas/) diunggah pada 04 April
2012.
mantap benar makalahnya :)
BalasHapus