Makalah Ketika Guru Menjadi Aktor Dan Emansipator


Ketika Guru Menjadi Aktor Dan Emansipator


  

OLEH


Ahmad Ridwan Kadir
(20403110008)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULAS TARBIYAH DAN KEGURUAN 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012


KATA PENGANTAR

Asslamu alaikum wr. wb.
           Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah tersebut.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Peranan Guru, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Peranan Guru saat menjadi Aktor atau Emansipator” yang akan menjadi acuan untuk menjadi guru profesional. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah EPK yang telah memberikan tugas tersebut.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Akhirul kalam, Wabillahi taufiq warrahma, wassalamu alaikum wr. wb.
Makassar, 04 April 2012
Hormat kami,
                                         

Penulis

NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!



 
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Pendidikan adalah suatu bentuk investasi jangka panjang yang penting bagi seorang manusia. Pendidikan yang berhasil akan menciptakan manusia yang pantas dan berkelayakan di masyarakat seta tidak menyusahkan orang lain. Masyarakat dari yang paling terbelakang sampai yang paling maju mengakui bahwa pendidik/guru merupakan satu diantara sekian banyak unsur pembentuk utama calon anggota masyarakat. Namun, wujud pengakuan itu berbeda-beda antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain. Sebagian mengakui pentingnya peranan guru itu dengan cara yang lebih konkrit, sementara yang lain masih menyangsikan besarnya tanggung jawab seorang guru, termasuk masyarakat yang sering menggaji guru lebih rendah daripada yang sepantasnya.
Demikian pula, sebagian orang tua kadang-kadang merasa cemas ketika menyaksikan anak-anak mereka berangkat ke sekolah, karena masih ragu akan kemampuan guru mereka. Di pihak lain setelah beberapa bulan pertama mengajar, guru-guru pada umumnya sudah menyadari betapa besar pengaruh terpendam yang mereka miliki terhadap pembinaan kepribadian peserta didik.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana peran guru sebagai Aktor?
2.      Bagaimana peran guru sebagai Emansipator?

C.      Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui peranan guru sebagai Aktor.
2.      Untuk mengetahui peranan guru sebagai Emansipator.

NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Guru Sebagai Penulis Naskah, Sutradara dan Sekaligus Aktor

Menjadi guru memang tidaklah gampang, karena guru dalam membelajarkan siswa sangat dituntut profesionalismenya dalam membuka sekaligus mengembangkan potensi serta motivasi belajar siswa. Ibarat sebuah sinetron maka guru dalam pementasan sebuah adegan dalam setiap episode pembelajaran berperan sebagai penulis naskah ( skenario ), sutradara dan sekaligus pemain bersama dengan siswa.[1]
1. Guru Sebagai Penulis Naskah     
Dalam perannya sebagai penulis naskah sebelum pelaksanaan pembelajaran guru harus mempersiapkan materi (bahan ajar) pembelajaran yang akan mendukung dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan ajar tersebut harus memuat ketercapaian kompetensi Dasar yang dituangkan dalam bentuk indikator-indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Disamping itu bahan ajar dalam pengembangannya harus menganut prinsip sebagai berikut :
a.       Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak;
b.      Pengulangan untuk memperkuat pemahaman;
c.       Umpan balik positif untuk memberikan penguatan terhadap pemahaman peserta didik;
d.      Motivasi belajar yang tinggi sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan belajar;
e.       Untuk mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai ketinggian tertentu;
f.        Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus mencapai tujuan.          
2.     Guru Sebagai Sutradara  
Dalam perannya sebagai sutradara, guru lebih awal harus memperoleh informasi sekaligus mengumpulkan data tentang kondisi awal siswa yang akan diajar kemudian mempersiapkan segala bahan dan peralatan yang kan dipakai setelah action dikelas. Hal ini dimaksudkan supaya dalam menyusun rancangan pembelajaran (skenario) yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ) guru dapat memilih materi, metode, strategi dan penilaian pembelajaran yang tepat. Dalam RPP yang dibuat guru sedapat mungkin dapat komunikatif artinya dapat menuntun jalannya adegan-adegan di dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari kegiatan persiapan , kegiatan inti sampai pada kegiatan penutup. Bila perlu dan demi lancarnya kegiatan pembelajaran guru masih diharapkan dapat memberi penjelasan-penjelasan yang terkait lakon yang harus dilakukan siswa sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien.
Khususnya dengan metode dan strategi pembelajaran pada dasarnya tidak ada satupun metode atau strategi yang paling bagus, kecuali jika digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Salah menggunakan metode atau strategi maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran yang akan dicapai tidak akan maksimal.[2]
3.     Guru Sebagai Aktor          
Dalam perannya sebagai aktor ( pemain ), setelah naskah ( materi ) ada, skenario lengkap, sutradara sudah bekerja dengan baik maka selanjutnya guru masih harus berperan sebagai pemain langsung dalam setiap episode pembelajaran. Walaupun dalam filosofi pembelajaran yang dikembangkan sekarang peran dan fungsi guru bukan lagi sebagai pengajar melainkan lebih kepada sebagai fasilitator. Dalam perannya sebagai fasilitator tidak berarti bahwa guru sudah terlepas dari tugas sebagai pengajar, akan tetapi bentuk mengajarnya guru lebih besifat kepada bentuk pembimbingan dan bahkan sekali-kali menjadi model dalam setiap episode pembelajaran. Guru senantiasa harus mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan baik dilakukan dalam bentuk layanan individu maupun dalam bentuk layanan kelompok.    
Berikut ini hal-hal yang perlu dilakukan guru dalam setiap episode pembelajaran:
a.       Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.
Artinya guru harus berusaha melibatkan emosional siswa pada materi yang akan dipelajari misalkan dengan menghubungkan materi dengan kondisi keseharian siswa serta meenyampaikan manfaat atau kegunaan materi tersebut dipelajari;
b.      Menjelaskan tujuan pembelajaran.
Ini dimaksudkan agar supaya siswa punya batasan atau sasaran dalam mengeksplorasi serta mengelaborasi pengetahuannya;
c.       Menciptakan kegiatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.Kegiatan pembelajaran menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela jaran yang meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi;
d.      Melakukan pembimbingan baik secara individu maupun secara kelompok;
e.       Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
f.        Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
g.       Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
h.      Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya;
Tak terbantahkan lagi, guru menjadi figur sentral dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Begitu pintu kelas ditutup, puluhan pasang akan mengalihkan perhatiannya kepada sosok yang berdiri di depan kelas. Mulai ujung rambut hingga ujung kaki akan “ditelanjangi” oleh peserta didik. Tak berlebihan kalau ada yang bilang, figur seorang guru akan menjadi “rujukan” para siswa dalam bersikap dan bertingkah laku. Itu juga yang makna yang melekat pada akronim “Digugu dan Ditiru” (dipercaya dan diteladani).[3]
Mengingat demikian pentingnya peran seorang guru di depan kelas, tak perlu heran juga kalau ada yang mengibaratkan guru bagaikan aktor. Hidup-matinya sebuah kelas akan sangat ditentukan peran seorang guru dalam mendesain dan mengelola kelas. Ia (baca: guru) juga diibaratkan seperti konduktor yang akan mengatur irama dan orkestra kelas. Semakin kreatif seorang guru dalam mendesain situasi kelas, semakin hidup pula permainan orkestrasi kelas yang dikendalikannya.
Nah, seiring dengan dinamika pembelajaran yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, guru memang bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Di tengah kemajuan teknologi pada abad gelombang informasi seperti saat ini, anak-anak bisa memperoleh asupan ilmu dari berbagai sarana dan media. Kini, anak-anak dengan mudah mengakses berbagai informasi mutakhir yang terkait dengan dunia keilmuan di jagad maya. Hanya dengan berhadapan dengan layar monitor yang terhubung secara online dengan jaringan internet, peserta didik dapat menjelajahi lautan informasi keilmuan (nyaris) tanpa batas.
Dalam konteks demikian, guru pun diharapkan juga tak ketinggalan informasi dengan murid-muridnya. Sungguh celaka apabila guru yang menjadi salah satu sumber belajar bagi siswa didik, penguasaan informasinya justru “disalip” oleh murid-muridnya. Ini artinya, dalam situasi dan kondisi apa pun, guru jelas masih sangat membutuhkan kewibawaan masih melekat ke dalam “darah” ke-resi-annya. Salah satu cara yang paling tepat untuk menegakkan wibawa guru adalah penguasaan substansi materi keilmuan sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai seorang aktor, guru haru melakukan apa yang ada di dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton. Penampilan yang bagus dari seorang aktor akan mengkibatkan para penonton tertawa, mengikuti dengan sungguh-sungguh, dan bisa pula menangis terbawa oleh penanmpilan sang aktor. Untuk bisa berperan sesuai dengan tuntutan naskah, dia harus menganalisis dan melihat kemampuannya sendiri, persiapannya, memperbaiki kelemahan, menyempurnakan aspek-aspek baru dari setiap penampilan, mempergunakan pakaian, tata rias sebagaimana diminta, dan kondisinya sendiriuntuk menghadapi ketegangan emosinya dari malam ke malam serta mekanisme fisik yang baru ditampilkan.[4]
Sang aktor harus siap mental terhadap pernyataan senang dan tidak senang dari para penonton dan kritik yang diberikan oleh media massa. Emosi harus dikuasai karena kalau seseorang  telah mencintai atau membenci sesuatu akan berlaku tidak objektif, perilakunya menjadi distorsi dan tak terkontrol. Ringkasnya, untuk menjadi aktor yang mampu membuat para penonton bisa menikmati penampilannya serta memahami pesan yang ingin disampaikan, diperlukan persiapan, baik pikiran, perasaan maupun latihan fisik.
Setiap individu memiliki banyak peran untuk dimainkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kebanyakan menolak anggapan bahwa gagasan dan pengalaman, serta harus menyadari bahwa orang lainpun berkesempatan untuk memilikinya. Untuk dapat mentransfer gagasan, ia harus mengembangkan pengetahuan yang telah dikumpulkan serta mengembangkan kemapuan mengkomunikasikan pengetahuan itu. Kemempuan berkomunikasi merupakan suatu seni atau keterampilan yang dikenal dengan mengajar.
Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga juga tentang keperibadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarannya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol. Untuk melakukan hal ini ia mempelajari semua hal  yang berhubungan dengan tugasnya, sehingga dapat bekerja secara efektif.
Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdiandan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkkan kegiatannya. Tahun demi tahun sang aktor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar. Demikianlah, guru memiliki kemampuan menunjukkan keterampilannya di depan kelas.
Guru harus menguasai materi standard dalam bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, memperbaiki keterampilan, dan mengembangkanuntuk mentransfer bidang studi itu. Ia mempelajari peserta didik, alat-alat yang dapat dipergunakan untuk menarik minat, dan tentu saja mempelajari bagaimana menggunakan alat-alat secara efektif dan efesien.[5]
Bidang studi yang harus diajarkan telah diseleksi sebagai bagian dari kurikulum. Guru harus mempelajarinya dengan seksama, termasuk urutan penyajiannya. Berbagai usaha untuk meningkatkan minat dan mempermudah pencapaian tujuan haruslah dilaksanakan, misalnya alat peraga, warna dinding dan pengaturan cahaya atau fenilasi kelas.
Untuk menghibur orang-orang yang merasa bahwa guru bukanlah seorang aktor atau harus tidak bertindak sebagai aktor, sebaiknya dilihat proses bagaimana dia menjadi seorang aktor yang nyata. Ia memilih mengajar sebagai karier, mengabdi melalui bidang studi tertentu, yang memerlukan waktu, uang, tenaga dan harus menguasai bidangnya, serta belajar mengajarkannya kepada orang lain.
Guru harus mampu tampil prima di depan kelas menyampaikan materi pelajaran dengan memikat sehingga siswa antusias dan bersemangat. Problemnya, seringkali guru ‘kurang cara’ untuk tampil memikat jadinya situasi belajar-mengajar (KBM) membosankan.
Tersirat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa guru yang profesional harus mempu menciptakan situasi belajar-mengajar (KBM) yang kondusif. Tujuannya agar siswa bersemangat dan terinspirasi untuk terus belajar. Guru pun harus selalu mengeksplorasi metode serta setrategi pembelajaran agar siswa antusias menyimak materi pelajaran. Begitulah, tugas guru ternyata tidak sekedar menyampaikan materi yang diamanatkan kurikulum.[6]
Menafsirkan makna ‘tampil prima’ dan ‘menarik di depan siswa’ saya sedikit memiliki pemikiran nyleneh tentang penampilan guru. Saya membayangkan guru adalah seorang aktor yang ‘bermain’ di depan kelas dengan ‘naskah’ materi pelajaran serta siswa adalah ‘penonton’ yang aktif. Dalam konsep teater modern, penonton yang aktif adalah penonton yang terlibat dalam permainan (baca; ikut bermain). Guru adalah aktor!
Persoalan yang sempat saya simpulkan dari pertemuan dengan guru dari berbagai sekolah di Jombang, Mojokerto, serta sejumlah wilayah lain menunjukkan jika sikap kurang percaya diri menjadi masalah utama. Justru bukan kepada penguasaan materi ajar, tetapi lebih pada aspek psikologi individual. Ini berarti alternatif solusinya adalah dengan ‘mengasosiasikan’ diri sebagai aktor di ‘panggung’ kelas. Cucuk Suparno.[7]
Seorang aktor mampu mengatasi rasa kurang percaya diri dengan berbagai latihan dan tindak pengkondisian psikis. Nah! Guru tidak ada salahnya melakukan tindak pengkondisian psikis. Menjadi aktor tunggal di depan kelas harus mampu ‘berakting’ yang total agar ‘pertunjukkan’ menarik. Implikasinya, guru harus selalu mengeksplorasi materi ajar yang di-create menjadi mentode pengajaran yang memikat.
Ambil contoh, materi sastra yang –oleh banyak guru—dikeluhkan sebagai materi paling sulit diajarkan. Karena siswa menganggap sastra itu berbelit, membosankan, dan diharuskan menghafal banyak tokoh serta karya sastra. Jangan salah! Sastra justru menjadi pelajaran yang menarik apabila kita memiliki setrategi mengajar yang jitu. Siswa tidak tertarik, dipastikan kelas menjadi ramai dan sulit dikendalikan.
Coba saja, misalnya guru masuk kelas membawa boneka. Dengan gaya tertentu ajak boneka seolah itu adalah ‘seseorang’ yang sedih karena selalu tidak di dengar. Nah! Akting pun dimulai. Eksplorasi boneka sehingga siswa pun merasa empati terhadap tokoh rekaan tersebut. Ketika siswa empati, kelas pun jadi mudah dikendalikan. Selanjutnya, gunakan boneka itu sebagai media pembelajaran. Sedikit akting akan menggiring siswa tanpa disadari oleh siswa itu sendiri.
Sampai di sini, saya berkesimpulan masalah utama justru ada dalam diri guru itu sendiri. Rasa kurang percaya diri muncul karena ‘malu’ untuk mengeksplorasi metode yang kurang lazim. Kenapa saya sebut kurang lazim? Sebab siswa akan jenuh –cepat bosan—jika menghadapi guru yang normatif dan tidak memiliki ‘kejutan-kejutan’ baru dalam menyampaikan materi pelajaran.
Dalam ilmu keaktoran, kejutan-kejutan ini ibarat suspen in act. Diperlukan keliaran imajinasi untuk memunculkan kejutan baru itu. Guru pun harus memiliki keliaran metode sehingga –apapun pelajarannya—tetap menarik. Patut diingat bahwa tidak ada eksplorasi yang salah selalu berdasar rencana pengajaran. Jadi kenapa mesti malu berekspresi? Karena guru adalah aktor!.[8]
B.     Guru sebagai Emanipator
Emansipasi (Emansipator) adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan, penggugah semangat peserta didik dan  penerang dalam kegelapan  generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia  merupakan budak stagnasi kebudayaan.[9]
Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Ketika masyarakat membicarakan rasa tidak senang kepada peserta didik tertentu, guru harus mengenal kebutuhan peserta didik tersebut akan pengalaman, pengakuan, dan dorongan. Dia tahu bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan , kebodohan, dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Dalam hal ini, guru harus mempu melihat sesuatu yang tersirat di samping yang tersurat, serta mencari kemungkinan pengembangannya.[10]
Untuk memiliki kemampuan yang tersirat, perlu memanfaatkan pengalaman selama bekerja, kesabaran dan tentu saja kemampuan menganalisis fakta yang dilihatnya, sehingga guru mampu mengubah kemampuan peserta didik dari status “terbuang” menjadi “dipertimbangkan” oleh masyarakat. Guru telah melaksanakan fungsinya sebagai emansipator, ketika peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tak berharga, merasa dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan sebagai kesulitan sehingga hampir putus asa, dibandingkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri. Ketika peserta didik hampir putus asa, diperlukan ketelatenan, keuletan dan seni termotivasi agar timbul kembali kesadaran, dan bangkit lagi harapannya.
Guru sadar bahwa informasi tertentu telah dimiliki peserta didik sebelum mereka masuk kelas, ia juga sudah sadar bahwa apa yang diketahui orang bisa jadi fakta yang belum diorganisir menjadi hubungan yang bermakna. Salah satu tanda bahwa peserta didik telah memahami hubungan yang bermakna adalah mampu menjelaskan apa yang diketahuinya. Karena itu, guru harus membina kemampuan peserta didik untuk menginformasikan apa yang ada dalam pikirannya. Jika kemampuan tersebut telah dimiliki, maka perasaan rendah diri tadi berangsur-angsur hilang, dan bebaslah peserta didik dari keadaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, guru telah melakukan emansipasi.
Guru sering melihat potensi ketika air kreativitas telah nampak mengalir, ia melihat sekelompok peserta didik yang terisolasi dari aliran air yang lain, dan mengisi sumur itu dengan ide-ide, pengetahuan, dan harapan. Hal ini akan membantu peserta didik meraih hubungan dengan budaya yang disekitarnya dan hidup lebih berisi, lebih kaya, walaupun seringkali mendapatkan hambatan, itulah kehidupan.[11]
Bagaikan seorang penasehat, guru melihat potensi yang terdapat pada benda (bahan) yang dikerjakannya. Dia menerima itu sebagaimana adanya, dan dengan penuh kesungguhan bahan itu “dijadikan”. Demikianlah guru menerima peserta didik yang datang dengan berbagai latar belakang budaya di sekelilingnya.
Karena benda yang digarap bukan benda mati sebagaimana yang digarap oleh pemahat, maka guru berkewajiban mengembangkan potensi peserta didik sedemikian rupa sehingga menjadi pribadi yang kreatif. Untuk itu dia memberikan kesempatan kepada peserta didik mengajukan pertanyaan, memberikan balikan, memberikan kritik dan sebagainya, sehingga mereka merasa memperoleh kebebasan yang wajar.
Dalam komunitas makhluk hidup pada umumnya  dan komunitas siswa khususnya  pasti ada kelompok pandai, sedang dan kurang pandai, kelompok aktif, sedang dan kurang aktif, kelompok rajin,sedang dan kurang rajin, dan lain-lain yang ujungnya secara psikologis mereka itu membuat kelompok-kelompok yang anggotanya dianggap setara.
Kelompok yang terakhir  yakni kelompok kurang mampu, kurang pandai,kurang rajin, kurang aktif, kurang cerdas sering mengalami minder, kurang percaya diri, tidak termotivasi untuk mengembangkan diri dan paling parah timbulnya perasaan putus asa.
Menghadapi kelompok yang demikian ini , guru hendaknya segera bertindak sesuai perannya sebagai emansipator. Mengembalikan kelompok ini menjadi  bangkit, termotivasi, percaya diri dan tidak putus asa adalah peran guru sebagai emansipator.[12]

NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!


BAB III
PENUTUP
A.     kesimpulan
Dalam ilmu keaktoran, kejutan-kejutan ini ibarat suspen in act. Diperlukan keliaran imajinasi untuk memunculkan kejutan baru itu. Guru pun harus memiliki keliaran metode sehingga –apapun pelajarannya—tetap menarik. Patut diingat bahwa tidak ada eksplorasi yang salah selalu berdasar rencana pengajaran. Jadi kenapa mesti malu berekspresi? Karena guru adalah aktor.
Emansipasi (Emansipator) adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan, penggugah semangat peserta didik dan  penerang dalam kegelapan  generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia  merupakan budak stagnasi kebudayaan.
B.     Saran
Sebaiknya pembaca dapat mengumpulkan informasi dari sumber lain atau referensi lainnya mengenai materi yang dibahas dalam makalah ini guna menambah wawasan mengenai peran guru dalam proses pembelajaran terkhusus guru sebagai pembaharu, model dan teladan, serta guru sebagai pribadi.



DAFTAR REFERENSI
MPR RI. 2011. UUD RI 1945 dan Ketetapan MPR RI. Jakarta: Sekjen MPR RI.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesonal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Mulyasa. 2008. Menjadi Guru Profesonal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset .




[2] Muhadi, Ibid. 3 April 2012
[4] Mulyasa, Menjadi Guru Profesonal, (Cet. VII Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2008), hal. 59
[5] Mulyasa, Ibid, Hal. 59
[6] MPR RI, UUD RI 1945 dan Ketetapan MPR RI, (Cet. X, Jakarta: Sekjen MPR RI, 2011), hal. 197
[8] Cucuk, Ibid, Pada 02 April 2012
[9] Mulyasa, Menjadi Guru Profesonal, (Cet. V Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2005), hal. 56
[10] Mulyasa, Ibid, hal. 60
[11] Mulyasa, Ibid, hal. 61

NB: SEBELUM DICOPY, KOMENTARNYA JANGAN LUPA DI BAWAH YAH!!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah: FERTILISASI DAN PEMBELAHAN ZIGOT

Makalah: Hewan Endoterm dan Ektoterm